Kamis, 21 Oktober 2010

H.M. Soeharto, “Kalau Ajal Menjemput”

“Kalau tiba saatnya saya dipanggil oleh Yang Mahakuasa, mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan, saya serahkan kepada istri saya.”

PERNYATAAN di atas terdapat dalam buku otobiografi, “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” (Citra Lamtoro Gung Persada, 1989:561). Namun, ternyata istrinya Siti Hartinah atau yang akrab disapa Ibu Tien, meninggal dunia lebih dulu 28 April 1996 akibat sakit jantung.

Sepeninggal Ibu Tien, bintang “Sang Jenderal Besar” pun terus meredup. Kariernya sebagai presiden selama 30 tahun mulai terguncang, khususnya setelah terjadi krisis moneter Agustus 1997. Krisis pun berkembang menjadi krisis ekonomi 1998, yang berbuntut lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, Mei 1998.


Sekilas tak ada yang berbeda, baik saat jadi presiden maupun setelah lengser. Bahkan, saat sakit-sakitan senyum khasnya tak pernah lepas. Wajar bila penulis O.G. Roeder menyebutnya sebagai the smiling general dalam bukunya “The Smiling General”.

Selain “The Smiling General”, masih banyak sebutan lain untuk Pak Harto. Ada yang memuji, tak sedikit pula yang mencacinya. Soekarno menyebutnya opsir koppig (opsir keras kepala). Ada yang menyebutnya pemimpin besar, ada pula hanya karena keberuntungan bisa memimpin negeri ini.

Sejarah dunia mencatat namanya, sebagai salah seorang pemimpin terlama memimpin satu negara (32 tahun). “The Asian Wall Street Journal” terbitan 1999 pun mengukuhkannya sebagai presiden terkaya di dunia dengan 1.247 perusahaan keluarga.

**

DALAM otobiografi seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., berjudul “Soeharto. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,” Soeharto mengakui, dirinya bukan anak yang punya pertanda seorang calon pemimpin saat dilahirkan. Hanya anak desa yang lahir dari keluarga petani miskin dan tidak dipersiapkan orang tuanya untuk menjadi pemimpin bangsa.

Presiden kedua Indonesia ini lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 dari pasangan Kertosudiro (ayah) dan Sukirah (ibu). Di masa kecilnya, ia hidup prihatin terutama setelah orang tuanya bercerai. Ia harus berpindah sekolah karena ayah tirinya pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Sang ayah kandung Kertosudiro pun, mengambil Soeharto dan menitipkannya kepada Prawirohardjo, suami bibinya (adik Kertosudiro).

Soeharto pindah ke Selogiri, 6 km dari Wonogiri untuk melanjutkan sekolah lanjutan rendah (schakel school). Namun, terpaksa meninggalkan sekolah itu, karena peraturan mengharuskan murid memakai celana pendek dan bersepatu. Ia tak memiliki celana pendek dan sepatu.

Keprihatinan itu justru menempa watak Soeharto, khususnya melalui didikan Prawirohardjo. Beliau dilatih berpuasa Senin-Kamis dan tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rumah). Berbagai filsafat Jawa pun menjadi santapan rohaninya. Pada masa itulah, Soeharto mengenal tiga “aja”, yaitu aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh yang berarti jangan kagetan, jangan heran, dan jangan mentang-mentang.

**

KITA tidak akan pernah mengenal Soeharto, jika ia tidak jadi bergabung dalam Koninklijke Nederlands-Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda 1940. Saat itu, usianya baru 19 tahun. Keterlibatannya, pintu gerbang kiprah militer dan politik di Indonesia.

Dalam buku berjudul “Indonesian Politics Under Soeharto”, Michael R.J. Vatikiotis menyebutkan, Soeharto tidak pernah bepergian jauh dari tempat kelahirannya di Du-sun Kemusuk, Yogyakarta.

Keputusan memilih karier militer tak sia-sia. Dalam sembilan tahun, menunjukkan prestasi pimpin serangan umum 1 Maret 1949 yang fenomenal. Satu per satu operasi militer pun dipimpin Soeharto.

Padahal, selepas sekolah rakyat (SR), ia sempat tak punya pilihan dalam merintis masa depan. Mencoba peruntungan di berbagai bidang, adi asisten juru tulis di salah satu bank rakyat pedesaan. Ia dinilai gagal ketika menjalani pekerjaan sebagai asisten juru tulis itu, hingga bergabung dengan KNIL.

Tahun 1946, diangkat menjadi Komandan Resimen ke-22 , Divisi III (Yogya). Pascareorganisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dipercaya jadi Komandan Brigade X Yogyakarta, lalu dikukuhkan sebagai Letnan Kolonel TNI Angkatan Darat (AD).

Soeharto mulai mengenal isu politik dan pemerintahan, tatkala ia diikutkan kursus di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung 1 November 1959. Diceritakannya punya banyak ide yang diimplementasikan ketika ia menjadi presiden.

Meski memilukan, peristiwa Gerakan 30 September 1965 tonggak sejarah penting. Ia ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Pangkopkamtib 3 Oktober 1965, untuk memulihkan stabilitas politik dan keamanan selepas peristiwa G 30 S. Ruth Mc Ivey menyebut, sekurangnya 500.000 orang komunis tewas dibantai militer di bawah komando Soeharto dalam peristiwa itu.

**

JENDERAL Soeharto menjalankan fungsi kepresidenan setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS 1967. Penunjukan dilakukan melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 12 Maret 1967 yang belakangan dinilai kontroversial.

Gaya diktatorialnya menuai perlawanan dari gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa. Krisis ekonomi 1997 mempercepat proses pematangan perlawanan. Jutaan rakyat turun ke jalan, menuntut lengsernya Presiden Soeharto. Pada 21 Mei 1998, ia mengundurkan diri menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR RI oleh ribuan mahasiswa.

Di akhir otobiografinya, Soeharto berwasiat, “Kalau ajal menjemput, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, yang berdasarkan Pancasila.”

Sumber : www.pikiran-rakyat.com

Keep Never Say Die Attitude & Down To Earth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar