Sabtu, 27 November 2010

Biografi : LB Moerdani (1932-2004)


                                               LB Moerdani (1932-2004)
                                 Militer dan Intelijen Sejati



Mantan Panglima ABRI Jenderal (Pur) Leonardus Benyamin Moerdani meninggal dunia sekitar pukul 01.30 WIB Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Soebroto. Mantan Menhankam dan intelijen kawakan kelahiran Cepu 2 Oktober 1932 ini sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan infeksi paru-paru.

Jenazah disemayamkan rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 Wib di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Sedangkan upacara keagamaan dipimpin Pastur Suito Panito.




Penghormatan yang mengiringi kepergiannya sangat terasa khidmat. Bendera Merah Putih yang dibentangkan setinggi dada serta tembakan salvo mengiringi jrnazah Benny ke liang lahat.



Para pelayat, mulai dari kerabat, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara, baik sipil maupun militer, berduyun-duyun mengantarkannya dari kediaman di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, ke Mabes TNI Angkatan Darat hingga ke TMP Kalibata.

Mantan Presiden Soeharto didamping putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, serta enderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi istrinya, Kristiani Herawati melayat ke kediaman almarhum.


Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri beserta suami, Taufik Kiemas, menghadiri upacara penghormatan terakhir dan serah terima jenazah mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu saat almarhum disemayamkan di Mabes TNI AD.



Saat disemayamkan di Mabes TNI AD, hadir mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Bibit Waluyo, sejumlah purnawirawan TNI, serta beberapa pejabat pemerintahan era Orde Baru, seperti Harmoko, Ali Alatas, dan Fuad Hassan.



Begitu pula di pemkaman, hadir sejumlah pejabat, mantan pejabat militer dan tokoh-tokoh lainnya, antara lain mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Des Alwi, Frans Seda dan sejumlah pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, dan Mari Pangestu.



Sebagai rasa hormat kepada almarhum, Panglima TNI memerintahkan seluruh markas jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 29 Agustus 2004. penghormatan itu diberikan mengingat jasa-jasa Benny kepada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan negara.

Hari-hari sebelumnya sejumlah pejabat dan tokoh menjenguknya yang tengah dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) lantai 4 kamar bernomor 408 RSPAD sejak hari Selasa (6/7). Dia antara tokoh yang menjenguknya:Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto dan Taufik Kiemas.



L.B. Moerdani meninggalkan seorang istri, Hartini dan seorang putri, Irene Ria Moerdani serta lima orang cucu). Semasa menjabat Menhankam/Pangab, jenderal bintang empat ini sangat disegani di negeri ini. Pada saat menjabat Menhankam/Pangab, dia malah disebut-sebut sebagai orang nomor dua terkuat setelah Presiden Soeharto. Dia memang dikenal seorang jenderal yang tegas, sosoknya benar-benar militer sejati.



Prestasinya terukir sebagai penata organisasi intelijen di tubuh militer. Benny, demikian panggilan akrabnya, merupakan penggagas Badan Intelijen Strategis (Bais) pada 1983. Sebuah lembaga intelijen melengkapi lembaga serupa yang sudah ada yakni Badan Koordinasi Intelijen Negara (1969). Dia juga sukses mereorganisasi sejumlah komando daerah militer dan memodernisir peralatan TNI semasa menjabat Pangab.

Mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini juga sukses dalam sejumlah operasi militer. Di antaranya Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975 dan Operasi Woyla 1981.



Dia juga dikenal sebagai negarawan yang dijuluki kalangan diplomat asing sebagai the only statesman in Indonesia.


Legendaris

Benny dikenang sebagai peletak modernitas ABRI. Banyak hal yang telah diperbuat LB Moerdani semasa hidupnya. Bukan hanya menjadikan lembaga intelijen berkembang secara profesional, tapi juga juga membangun persenjataan yang lebih modern, pendidikan, latihan dan kerja sama dengan negara lain di bidang pertahanan.



Dia figur berkepribadian kuat, memiliki profesionalitas militer yang sangat kental, sedikit bicara, tegas, dan tidak bertele-tele jika berbicara. Bahkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayjen TNI Sudrajat menilai LB Moerdani sebagai jenderal legendaris yang setara dengan Sudirman, Nasution, dan Simatupang.



Menurut Sudrajat, selain punya karisma luar biasa, Beliau bisa membawa bangsa ini kepada suasana stabil, saling memahami, dan di tengah-tengah itu memformulasikan nilai-nilai demokrasi.

Anggota Dewan Kehormatan Harry Tjan Silalahi menilai LB Moerdani sebagai pahlawan, patriot sejati Indonesia. Sebab, ia selalu berjuang dan melaksanakan tugasnya untuk negeri ini melampaui apa yang diwajibkan. "Kita menamakannya Patriot 24 Karat," tuturnya kepada Kompas (30/8/2004)

Sofjan Wanandi berpendapat, LB Moerdani termasuk sosok militer yang berani mengkritik Soeharto, tetapi tetap menunjukkan loyalitasnya. "Dia juga menjadi korban ketika mulai tidak disukai Soeharto," ucapnya.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai mendiang sebagai seorang prajurit yang berdedikasi tinggi dan tidak pernah memikirkan hal lain, selain negara dan kesatuannya.

"Beliau seorang ksatria," kata Gus Dur sebagaimana ditulis dalam pengantar biografi LB Moerdani.

Namun, Gus Dur juga menulis, ternyata seorang LB Moerdani yang sedemikian perkasa masih mau diperintah untuk menjalankan kebijakan "petrus" (penembakan misterius). Kebijakan tersebut dijadikan semacam terapi kejut oleh pemerintahan Soeharto untuk mengurangi angka kejahatan.

"Muka Beliau setelah membaca tulisan saya seperti berubah jadi ’merah-biru’. Tapi kemudian Beliau mengatakan, 'Baik, dimuat’. Saya kemudian mendatanginya dan mengatakan, ’Saya paling senang berurusan dengan seorang ksatria’," ujar Gus Dur tentang itu.

Sosok Benny juga terbilang kontroversial. Selain banyak yang mengenangnya sebagai prajurit sejati, gagah dan prajurit negarawan, juga ada pihak yang mengenangnya dalam sosok lain.

Dia memang seorang jenderal yang meninggalkan banyak jejak semasa Orde Baru masih gagah perkasa. Pada masanya menjabat Panglima ABRI, dialah jenderal yang banyak disebut paling berpengaruh setelah Pak Harto. Wajah sangarnya sering hadir di banyak peristiwa yang menonjol. Bahkan setelah Orde Baru tumbang, bayang-bayangnya masih banyak dalam pembicaraan politik.

Kebersamaannya dengan Pak Harto dimulai pada saat perebutan Irian Barat. Pada perang yang dikomandani Mayor Jenderal Soeharto itu, Mayor Benny yang memimpin Operasi Naga iberhasil memimpin penyusupan.

Setelah itu, 1967-1974 Benny bertugas di luar negeri (Kuala Lumpur dan Seoul) sebagai diplomat. Di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu, nama yang membayangi Pak Harto adalah mendiang Jenderal Ali Moertopo, yang juga salah satu mentor Benny di bidang intelijen.

Kemudian Benny diangkat sebagai pimpinan Satgas Intelijen Kopkamtib (1974). Kemudian menjabat asisten intelijen Hankam, dan kepala pusat Badan Intelijen Strategis (Bais) yang didirikannya. Hingga meraih posisi puncak menjabat Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib sampai 1988.

Pada saat Benny menjabat Pangab itulah, terjadi Peristiwa Priok 1984. Benny kerap dianggap sebagai orang yang sengaja memojokkan golongan tertentu. Namun, Benny membantahnya di hadapan para kiai Ponpes Lirboyo, Kediri, "Saya ingin menegaskan, umat Islam Indonesia tidak dipojokkan. Dan tidak akan pernah dipojokkan."

Kesetiaannya sebagai pembantu Presiden untuk menjaga "stabilitas nasional" memang tidak hanya menggetarkan kalangan aktivis muslim. Banyak separatis dan gerilyawan, seperti orang Timtim umumnya yang agamanya Katolik, juga mendapat tindakan tegas pada masa itu.

Namun kesetiaannya kepada Pak Harto tidak harus membungkuk-bungkuk seperti kebanyakan tokoh lain. Benny, konon, malah punya keberanian mengingatkan Pak Harto agar putra-putri dikendalikan. Walaupun hal itu harus berakibat hubungannya dengan sang jenderal besar tersebut merengggang.



Apalagi, seperti ditulis Kivlan Zen, Benny dianggap berambisi menduduki kursi wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Berakibat Pak Harto marah dan memberhentikan Benny dari Jabatan Panglima ABRI beberapa hari sebelum SU MPR dimulai. Sehingga Benny pun kehilangan kendali terhadap Fraksi ABRI di DPR/MPR. Hal ini disikapi Brigjen Ibrahim Saleh, dengan interupsi menolak Sudharmono sebagai Wapres. Brigjen Ibrahim Saleh pun dipecat. Pada masa itu, interupsi dianggap suatu keberanian luar biasa yang dianggap penguasa ibarat ledakan bom dalam suasana 'stablilitas nasional' yang tenang.

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/l/lb-moerdani/index.shtml 

Keep Never Say Die Attitude & Down To Earth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar