Sabtu, 27 November 2010

Politik Soeharto terhadap Militer

Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis.


Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan Polri tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa Soeharto. Satu babak masa kritis bersejarah dalam rentang waktu tahun 1975 hingga 1983 tersebut terekam dalam karya monografi David Jenkins yang kemudian dibukukan.

Sekelumit tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap ABRI dan hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun 1981-1982; tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi dengan birokrasi Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far Eastern Economic Review pada tahun 1976-1980.

Sejumlah orang penting, baik dari kalangan sipil maupun militer-yang aktif ataupun yang sudah pensiun-menjadi narasumber dari penelitian tentang sepak terjang politik ABRI di Indonesia ini. Beberapa di antara mereka adalah Ruslan Abdulgani, Sabam Siagian, dan Mohammad Natsir (sipil); Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal HR Darsono, Jenderal (Pol) Hugeng Imam Santoso, Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, Jenderal Sumitro, Letnan Jenderal TB Simatupang (purnawirawan ABRI); dan Jenderal LB Murdani, Jenderal M Jusuf, Letnan Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, Jenderal Supardjo Rustam, dan Jenderal Yoga Sugama yang masih aktif berdinas di kemiliteran ketika itu.

Dalam bukunya Jenkins menyimpulkan, sampai dengan tahun 1980 secara garis besar ABRI sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu para pejabat teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam pengejawantahannya, kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan menduduki posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara (BUMN), bankir, rektor universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah lagi menjadi bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan mesra ABRI dengan Golongan Karya (Golkar).

Kelompok kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar ABRI dapat berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian, ABRI tidak ditolelir menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai politik terbesar di Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan Soeharto.

Perbedaan pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup lama dan semakin meruncing, ketika Jenderal M Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI. Sejak akhir tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf mengkampanyekan manunggalnya ABRI dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi bagian dari rakyat dan tidak memihak satu golongan tertentu saja.

Situasi demikian sebenarnya menjadi ancaman, tidak saja bagi para pejabat teras ABRI yang menikmati kursi empuk, tetapi juga terlebih lagi bagi Soeharto dan kelanggengan kekuasaannya yang selama ini turut dijamin oleh ABRI melalui dukungannya yang begitu besar terhadap Golkar.

Menyadari hal tersebut, Soeharto tidak serta merta menghentikan upaya sekelompok perwira yang ingin membawa ABRI menjadi satu kekuatan negara yang netral, namun memotongnya secara halus. Maret 1980, Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, mengimbau agar ABRI memilih "teman sejati" yang sungguh-sungguh membela Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Secara implisit Soeharto telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar. Sebagai politisi, ia sangat piawai menggunakan simbol-simbol politik dan mempolitisir ABRI guna tetap menjaga kekuasaannya. ABRI pun tidak berkutik terhadap taktik Soeharto. Mengiringi keputusan Soeharto, sejumlah pejabat teras ABRI yang termasuk kelompok yang menginginkan kenetralan ABRI dicopot, seperti Widodo digantikan Poniman sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Namun, buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1984 dalam bahasa Inggris tersebut tidak sempat menjangkau masyarakat Indonesia secara luas karena Agustus 1986 Kejaksaan Agung melarang peredarannya. Bisa jadi keputusan pelarangan itu tidak sekadar karena karya Jenkins menyoroti bagaimana posisi dan hubungan Soeharto dengan kalangan militer semata, namun tidak tertutup kemungkinan juga karena "dosa" Jenkins terhadap Soeharto dan kroninya yang tercipta empat bulan sebelumnya.

David Jenkins dalam kapasitasnya sebagai wartawan The Sidney Morning Herald, salah satu koran Australia, pada 10 April 1986 menulis dua artikel dalam harian tersebut yang dinilai mendiskreditkan Soeharto, presiden Republik Indonesia. Tulisan tersebut berisi antara lain kecaman terhadap berbagai kebijakan presiden. Diindikasikan pula Soeharto melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), menerima upeti-upeti dari konglomerat sebagai pampasan atas fasilitas yang diberikan, dan memiliki kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya.

Dalam pandangan Jenkins, Soeharto mempunyai kemiripan dengan Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina yang digulingkan people power karena korupsi. Di dalamnya menyinggung pula keberadaan first lady Tien Soeharto yang disejajarkan dengan Imelda Marcos.

Meskipun menuai kecaman karena dinilai menghina Kepala Negara Republik Indonesia, namun Jenkins tidak berniat untuk menarik kembali dan tidak menyatakan penyesalannya atas tulisan itu. Akibat terbitnya pemberitaan tersebut, Pemerintah Indonesia sempat memboikot para wartawan Australia yang bertugas di dalam negeri dan mengecam Pemerintah Australia, karena kelalaiannya dalam mengontrol pemberitaan pers. Padahal, menurut Bill Hayden, Menteri Luar Negeri Australia ketika itu, pers di Australia memang mempunyai kebebasan mutlak dan tidak dicampuri sama sekali oleh pemerintah. Apa yang ditulis pers bukan berarti sama dengan sikap pemerintah. (Litbang Kompas, Sabtu, 8 Juni 2002)

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/berita/2006/03.shtml

Keep Never Say Die Attitude & Down To Earth

1 komentar: