Masih tentang kepahlawanan, kali ini saya ingin sedikit mengupas sisi lain seorang Seoharto, Presiden ke-2 RI yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Mungkin banyak orang yang masih menyimpan ‘dendam’ kepada beliau, atas kesalahan kroni-kroninya dalam menggilas uang negara selama masa pemerintahannya. Beberapa lagi masih dipenuhi dendam kesumat yang menyala-nyala, atas peristiwa pemberantasan antek-antek PKI di tahun 65-70an , atau juga beberapa kejadian yang melukai umat Islam seperti Tragedi Tanjung Priok dan yang semacamnya. Entah berapa banyak kasus kesalahan lagi yang bisa diungkapkan, saya kurang tahu persis tapi yang jelas banyak hal yang membebani bangsa ini untuk menyematkan gelar pahlawan kepada beliau.
Hari ini pun banyak orang atau bahkan tokoh yang masih fasih menyebutkan detil satu persatu kejahatan ‘the smiling general’ tersebut. Dengan terpaksa saya katakan bahwa saya tidak bisa ikut-ikutan. Saya memilih untuk mengusung filosofi jawa ‘ mikul dhuwur mendhem jero’, yaitu menyebut hanya dan sekali lagi hanya kebaikan seseorang, menutupi keburukannya, dan terlebih lagi saat ia telah meninggal. Belum lagi ungkapan yang sering kita dengar, “ bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya”, maka sayapun ingin menyimpulkan “ bangsa yang kerdil adalah yang sibuk mengutuk kesalahan para pendahulunya”. Kita bisa maju dengan belajar dari kesalahan para pendahulu, bukan dengan mengutuk dan menghajar citra, wibawa, dan jasa-jasanya.
Hari ini pun banyak orang atau bahkan tokoh yang masih fasih menyebutkan detil satu persatu kejahatan ‘the smiling general’ tersebut. Dengan terpaksa saya katakan bahwa saya tidak bisa ikut-ikutan. Saya memilih untuk mengusung filosofi jawa ‘ mikul dhuwur mendhem jero’, yaitu menyebut hanya dan sekali lagi hanya kebaikan seseorang, menutupi keburukannya, dan terlebih lagi saat ia telah meninggal. Belum lagi ungkapan yang sering kita dengar, “ bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya”, maka sayapun ingin menyimpulkan “ bangsa yang kerdil adalah yang sibuk mengutuk kesalahan para pendahulunya”. Kita bisa maju dengan belajar dari kesalahan para pendahulu, bukan dengan mengutuk dan menghajar citra, wibawa, dan jasa-jasanya.