Dalam perjalanan hidup Bung Karno, peristiwa penyerahan surat perintah ke Soeharto, yang kemudian menggantikan Bung Karno menjadi presiden, mungkin bisa dikatakan sebagai momen yang menentukan. Sebelum penyarahan surat ini, ternyata suasana Jakarta tegang dan mencekam.
Pada 10 Maret malam, Bung Karno terpaksa diungsikan ke Istana Bogor karena alasan keamanan. Bagaimana Bung Karno melewati hari-hari yang menegangkan itu? Berikut lanjutan kesaksian Mangil seperti yang tertulis dalam bukunya berjudul Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.
Pada 10 Maret malam, Bung Karno terpaksa diungsikan ke Istana Bogor karena alasan keamanan. Bagaimana Bung Karno melewati hari-hari yang menegangkan itu? Berikut lanjutan kesaksian Mangil seperti yang tertulis dalam bukunya berjudul Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.
JAKARTA, awal Maret 1966. Hari-hari terakhir ini banyak demonstrasi. Tak jarang demonstrasi ini menuju ke Istana Bung Karno. Pada suatu malam, tepatnya pada 10 Maret 1966, Bung Karno memanggil Mangil. ’’Mangil, andaikata ada pasukan tank yang datang kemari untuk menangkap atau membunuh Bapak, apakah kamu ada waktu untuk membawa Bapak keluar dari Istana. Mangil, Bapak ini tua-tua begini masih kuat jalan kaki kalau kamu menghendaki Bapak keluar dari Istana dengan jalan kaki,’’ kata Bung Karno.
Mangil menjawab bisa. Mendengar jawaban ini, Bung Karno tampak lega. Waktu itu putra-putri Bung Karno tengah tidur di kamar masing-masing di Istana Merdeka. Karena alasan keamanan, malam itu juga Bung Karno dibawa ke Istana Bogor. Rombongan Bung Karno melewati rute jalan-jalan kampung. Waktu itu, jalannya bukan aspal, tetapi tanah. Selain tidak beraspal, jalan ini juga kecil, tidak rata, banyak comberan, dan gelap sekali. Cahaya hanya berasal dari lampu mobil yang dikendarai Bung Karno dan rombongan.
Pagi-pagi sekali, rombongan Bung Karno ini tiba dengan selamat di Istana Bogor. Sebelas Maret 1966, pagi hari. Bung Karno sudah berangkat dari Istana Bogor menuju Istana Merdeka Jakarta karena ada laporan situasi telah memungkinkan bagi Bung Karno untuk kembali ke Jakarta. Diputuskan Bung Karno ke Jakarta dengan helikopter. Dalam helikopter yang ditumpangi Bung Karno ini, tampak ajudan senior presiden yang juga Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur, Komandan Datasemen Kawal Pribadi Mangil, dan Pilot Kolonel Penerbang Kardjono. Yang terakhir ini juga ajudan presiden dari unsur AURI (sekarang TNI AU).
Tak lama kemudian, rombongan dari Bogor ini mendarat di depan Istana Merdeka. Bung Karno langsung menuju salah satu ruang di Istana Negara dan memimpin sidang kabinet. Ketika rapat tengah berlangsung, ada informasi bahwa banyak tentara liar di lapangan sekitar Monas yang letaknya tak begitu jauh dari Istana Merdeka, tempat helikopter kepresidenan diparkir. Mereka tidak memakai tanda kesatuan. Makanya disebut pasukan liar.
Brigjen Sabur, komandan Cakrabirawa, segera memerintah perwira bawahannya, Mayor Sutarjo, untuk mengecek kebenaran informasi yang baru saja diterima. Setelah perwira yang ditugasi kembali dan melapor, memang betul di sekitar Monas ada tentara yang dikatakan liar itu. Dia menyebut tentara ini dari RPKAD. Setelah mendengar laporan ini, Sabur masuk ke Istana Negara untuk berunding dengan Mayjen Amirmachmud yang sedang mengikuti sidang kabinet selaku Pangdam V/Jakarta Raya. Pembicaraan Sabur dengan Amirmachmud memutuskan agar Bung Karno pergi ke Istan Bogor dengan helikopter. Atas saran dua jenderal ini, Bung Karno pun ke Istana Bogor dengan helikopter.
Dari Istana Negara, Bung Karno berjalan kaki menuju Istana Merdeka, selanjutnya ke tempat parkir helikopter yang berada di luar pagar Istana Merdeka, disertai Amirmachmud dan Mangil. Dalam perjalanan, di dekat koepel (sekolah taman kanakkanak Istana Presiden) antara Istana Negara dan Istana Merdeka, Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud,’’Mir, ada apa lagi ini?’’ Amirmachmud yang beberapa tahun kemudian menjadi Mendagri ini menjawab, ’’Itu tentara di luar tidak banyak. Paling-paling 50 orang. Bapak pergi saja ke Istana Bogor.’’ Bung Karno, Amirmachmud, dan Mangil terus berjalan menuju tempat helikopter melewati Istana Merdeka.
Setelah Bung Karno, Sabur, dan Mangil naik di dalam helikopter, pilot Kardjono mulai menerbangkan helikopter mengarah ke Bogor. Sementara, Amirmachmud sendiri terus menuju Istana Negara. Sebelum helikopter start, Kardjono oleh Mangil diminta tidak terbang melalui daerah Monas, tetapi ke arah utara dan barat dulu, dalam upaya untuk menyelematkan Bung Karno dari jangkauan jarak tembak tentara liar.
Sewaktu Bung Karno keluar halaman Istana Merdeka, dapat terlihat jelas tentara yang dikatakan liar tersebut. Mereka sangat dekat dengan helikopter kepresidenan yang memang sedang diparkir di depan Istana Merdeka, tepatnya di luar pagar. Melihat tentara liar ini, Bung Karno tampak tenang. Sabur memperkirakan jumlah tentara liar ini cukup banyak. Tak kurang dari satu batalyon. Mangil menulis, fakta ini menujukkan bahwa Bung Karno sama sekali tidak dalam ketakutan ketika meninggalkan istana. Bung Karno tetap tenang meski tentara liar berada dalam jarak yang cukup dekat dengan helikopter kepresidenan. Bahkan, Bung Karno telah masuk dalam jarak tembak. Selama menuju helikopter ini, Mangil selalu berada di depan Bung Karno dengan tujuan sebagai pagar hidup. Siapa tahu ada yang mencoba menembak Bung Karno.
Setelah beberapa lama terbang dengan helikopter, Bung Karno dan rombongan tiba di Istana Bogor. Bung Karno terus menuju kediamannya di paviliun istana. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi helikopter mendarat. Tampak turun dari helikopter Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Keduanya membawa ajudan masing-masing. Keempat orang tersebut langsung menuju paviliun. Tetapi bukan paviliun Bung Karno, melainkan paviliun tempat Mangil dan beberapa anah buahnya berjaga. Tak lama kemudian, tamu-tamu ini oleh Sabur dipersilakan beristirahat.
Tak terasa hari cepat merambat sore. Sekitar pukul 15.00 WIB, terdengar lagi bunyi helikopter mendarat. Dari paviliun tempat Mangil berjaga, terlihat tiga orang turun dari helikopter. Ternyata, mereka adalah Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, dam Pangdam V/Jaya Jenderal Amirmachmud. Ketiganya terus menuju paviliun Mangil. Oleh Mangil, mereka dipersilakan duduk. Ia lantas menghubungi Sabur. Sesudah berbincang-bincang dengan ketiga jenderal tersebut, Sabur menuju paviliun tempat Bung Karno beristirahat. Beberapa saat kemudian, Sabur datang dan mempersilakan ketiga jenderal tersebut datang ke paviliun Bung Karno.
Sekitar magrib, Sabur dengan tergesa-gesa datang ke paviliun Mangil sambil membawa kertas dan berkata kepada staf ajudan presiden, meminta mesin ketik dan kertas. ’’Gua mau bikin surat perintah, nih…’’ Mangil mengaku tidak memperhatikan apa yang diketik Sabur. Mangil tetap saja duduk di kursi. Sesudah selesai mengetik, dengan langkah terburu-buru Sabur kembali ke paviliun Bung Karno.
Kurang lebih pada pukul 20.00 WIB, Basuki, Jusuf, dan Amirmachmud meninggalkan paviliun Istana Bogor ke Jakarta dengan naik mobil. Setelah itu, tidak ada kegiatan lagi dan tidak ada tamu untuk Bung Karno.
Keesokan harinya, pada 12 Maret 1966, Mangil mendengar siaran radio, soal adanya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Surat ini berisi tiga poin.
Pertama, menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.
Kedua, menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden RI. Terakhir, melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Kelak, peristiwa ini dikenal dengan nama surat perintah 11 Maret (Supersemar). Selain bersejarah, peristiwa ini mempunyai sisi lain. Ia adalah kontroversi, sekaligus misteri. Soalnya, sampai awal 1999, surat asli Supersemar ini tak ditemukan. Entah siapa yang memegang surat aslinya. Pemerintah mempunyai dua kopi surat ini. Anehnya, dua kopi surat ini berlainan. Yang pasti, surat ini menandai pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto.
Sumber: http://penasoekarno.wordpress.com/
Keep Never Say Die Attitude & Down To Earth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar