Jumat, 26 November 2010

Soekarno Berjuang, Soekarno Terbuang

“Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya”


Berbanggalah kita sebagai bangsa Indonesia karena pernah memiliki sosok yang banyak sekali menimbulkan controversial dalam kehidupannya. Soekarno, sekali lagi Sokarno. Bagai aliran air di samudera luas cerita tentang Soekarno tak pernah usai.

Berbagai sisi kehidupannya senantiasa menimbulkan tanggapan yang cukup tajam, mulai dari yang berbau mistik sampai seputar hari-hari akhir kekuasaan dan akhir hayatnya, tak bosan ditulis dan dicari orang.

Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, dari pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo (berprofesi guru) dan Ida Ayu Nyoman Rai dari Bali. Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah selama 3 tahun rezim Orde Baru (Orba) mengkarantinakannya secara politik.

Sebagai komunikator ulung dan layaknya seorang guru yang cakap, Soekarno mampu menyampaikan ide-ide/pemikiran cerdas dengan lancar, penuh imajinasi dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebetulnya sukar dan berat, menjadi mudah dan ringan dicerna untuk dipahami masyarakat awam sekalipun.

Misalnya, saat secara berkala pada tahun 1958-1959 Soekarno memberikan rangkaian ‘kuliah’ guna menjelaskan kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menjelaskan masing-masing satu sila pada tiap kesempatan tatap muka. Tanggal 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Ketika menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanannya terhadap paham itu, Soekarno menegaskan, Pancasila bukan cuma merupakan pandangan hidup, tapi juga alat pemersatu bangsa.

Kuliah pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa di waktu-waktu berikutnya yang diadakan di Istana Negara dan disiarkan langsung lewat radio ke seluruh penjuru Indonesia. Berbeda jauh dengan pidato-pidato Soekarno di depan massa yang biasanya menggelora dan berapi-api membakar semangat rakyat, rangkaian kuliah yang diberikannya itu berjalan rileks dan komunikatif.

Dengan serangkaian kuliah itu kelihatannya Soekarno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar, sakral, yang hanya boleh dimasuki presiden ataupun para pejabat penting lain negara; tapi istana tersebut adalah milik rakyat, tempat segenap masyarakat belajar mengenai berbagai hal termasuk dasar negara. Soekarno ingin menjadikan Istana Presiden (dan bahkan Indonesia umumnya) sebagai ‘ruang kuliah’ di mana terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dengan pemimpinnya.

Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila per sila Pancasila, terlihat jelas sekali pengetahuan Soekarno sangat luas dan mendalam. Dalam uraian-uraiannya, sering Bung Karno menyitir pemikiran-pemikiran filusuf Renan, Confucius, Gandhi, ataupun Marx. Dengan begitu, Soekarno seolah ingin menunjukkan serta memberi contoh bahwa tiap warga negara perlu terus-menerus memperluas pengetahuannya. Kendati Soekarno dididik sebagai seorang teknik, tapi ia amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, politik, sejarah dan agama.
Dalam satu kesempatan dalam rangkaian kuliah itu, Soekarno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan seorang petani miskin bernama Marhaen. Dialog itu sendiri sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelumnya, tapi Soekarno masih mampu mengingat dan menggambarkannya dengan amat jelas, gamblang.

Ini pertanda Soekarno amat menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan Marhaen, wong cilik, rakyat jelata miskin, serta mau menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama untuk membebaskan semua rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan, dan ketidakadilan. Bagi Bung Karno, retorika memperjuangkan kepentingan rakyat yang tak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat merupakan omong kosong, utopia.

Dengan begitu, sebagai guru bangsa, Soekarno amat tak suka cuma berkutat di dunia teori, melainkan juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari seluruh lapisan masyarakatnya. Soekarno selalu berusaha keras mempertemukan ‘buku’ dengan ‘bumi’, menatap teori-teori sosial dengan realita kehidupan keseharian rakyat Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Soekarno terus-menerus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Agaknya inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin-pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun setelahnya.

Satu hal penting yang tak diragukan dan perlu diingat – terlepas dari apakah orang setuju ataukah tidak dengan uraian dan berbagai pemikirannya – bahwa Soekarno bukanlah sosok pejabat (presiden) yang korup. Memang, bagaimanapun, sebagai seorang manusia, Soekarno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara misalnya, ia terlihat amat menikmati posisinya, sehingga muncul kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat, bangsa dan negara demokratis.

Sebagai presiden, semestinya Bung Karno menyadari kedudukannya selaku seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat kepadanya. Itupun disertai batasan masa jabatan tertentu. Tapi rupanya Soekarno tak terlalu menghiraukan hal tersebut. Karena itu, ketika tahun 1963 ia diangkat sebagai penjabat presiden seumur hidup, Bung Karno tak menolak.

Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai suatu ‘ruang kuliah raksasa’ dan rekan-rekan sebangsanya sebagai ‘murid-murid’ yang patuh, timbul kesan bahwa Soekarno seolah tak memerlukan ‘guru-guru’ yang lain. Ia tak keberatan akan eksistensi mereka, namun (sadar atau tidak) ‘gaya mengajarnya’ mendorong para tokoh lain yang juga potensial untuk menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.

Kita masih ingat, saat tanggal 1 Desember 1956 Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga belum lupa bagaimana orang-orang dekat Soekarno seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Mohammad Natsir, dan sebagainya satu per satu menjauh darinya.

Pada pertengahan 1950-an, agaknya perhatian Soekarno yang demikian besar terhadap posisinya sendiri, membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) versus Uni Soviet sudah kian jauh merasuki relung-relung kehidupan masyarakat Indonesia. Kemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Pemilihan Umum 1955 serta pemilu daerah tahun 1957 misalnya, telah mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap bangsa/negara Indonesia.

Di satu sisi, Republik Rakyat Cina (RRC) bersama Uni Soviet dan Blok Timur-nya menyambut kemenangan PKI itu dengan amat antusias dan penuh gembira karena menandakan kian meluas dan menguatnya pengaruh komunisme di Indonesia. Tapi di sisi lain, bagi Washington bersama sekutu-sekutunya, kemenangan PKI itu kian meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan benar-benar lepas dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam kerangka pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di segenap kawasan Asia Tenggara.

Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Pada tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara anggota, pengikut, dan pendukung PKI dengan unsur-unsur kekuatan domestik nonkomunis yang di-back up penuh oleh AS dan kawan-kawan. Lalu, sedikit demi sedikit Soekarno ‘dijepit’ dari semua sisi oleh pemerintahan Orba, dan akhirnya guru bangsa yang kelewat besar jasanya bagi Indonesia ini dikarantinakan, disingkirkan dari panggung kekuasaan.

Indonesia yang dengan segenap cinta dia tegakkan, ternyata di Indonesia pula dia harus tergilas dan tersingkirkan. Tapi benarkah demikian ? Biarlah sejarah yang mencatat dan memberikan jawaban untuk generasi mendatang.

Sumber: http://penasoekarno.wordpress.com/2009/10/22/soekarno-berjuang-soekarno-terbuang/

Keep Never Say Die Attitude & Down To Earth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar